Optimisme Ramadhan di Balik Balon Warna-Warni
Di tengah hiruk-pikuk kendaraan yang melintas di depan Pasar Babrik Tempuran, Yudi duduk termenung di pinggir jalan, menjajakan mainan anak berwarna-warni. Matanya sayu, menahan kantuk di siang yang sepi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadan kali ini kembali menjadi ujian kesabaran bagi penjual mainan seperti dirinya.

Siang itu, matahari menyengat, tetapi tak mampu menghangatkan hati Yudi. Tiga jam berlalu, hanya satu dua orang pembeli yang mampir ke lapaknya, yang ia letakkan di atas sepeda motor tuanya. Balon-balon helium yang mengambang lesu seolah ikut merasakan kesepiannya.
“Jualan mainan anak harus di tempat hajatan, yang ramai anak-anak,” gumamnya lirih. “Kalau bulan puasa begini, ya begini ini jadinya. Tidak ada hajatan sama sekali.”
Sudah tiga lokasi berbeda dicobanya, namun hasilnya tetap sama. Sepi. Ujian kesabaran dan harapan.
“Sudah 13 tahun saya jualan mainan. Kalau Ramadan, ya begini ini. Sepi,” tuturnya, matanya menerawang.
Bukan hanya Ramadan, ada tiga bulan lain yang selalu menjadi tantangan bagi Yudi: Syuro, Jumadil Awal, dan Jumadil Akhir—bulan-bulan tanpa hajatan, di mana keinginan anak-anak untuk membeli mainan ikut tertahan.
Keluhannya ditanggapi Uma, satu-satunya pembeli siang itu. Ibu muda tersebut membeli balon untuk anaknya. “Wajar kalau puasa sepi. Banyak hari libur, anak-anak tidak dapat uang saku, otomatis tidak beli mainan,” ujarnya.
Tak hanya pedagang mainan yang merasakan dampak Ramadan, tukang ojek pun bernasib serupa. Agus, seorang tukang ojek yang mangkal tak jauh dari Yudi, mengeluhkan berkurangnya pelanggan. “Saat puasa, orang malas bepergian. Konsumen ojek juga berkurang.”
Namun, Yudi tak pernah menyerah. Ada secercah harapan di balik balon-balon warna-warni itu. “Jualan mainan tetap menjanjikan,” katanya, matanya berbinar. “Satu pak balon isi 20, modal Rp 50 ribu. Kalau diisi helium, satu biji bisa dijual Rp 15 ribu.”
Kisah Yudi bukan sekadar jual beli mainan. Ini adalah perjuangan seorang ayah, seorang suami, yang harus menghidupi lima anaknya yang masih sekolah. Setiap hari, Rp 50 ribu harus disisihkan untuk uang saku mereka.
“Anak saya lima, masih sekolah semua. Satu anak Rp 10 ribu uang sakunya,” lirihnya. “Susah kalau jualan tak laku.”
Beruntung, sang istri turut membantu dengan berjualan makanan matang di pasar. Hasilnya cukup untuk menambal kebutuhan keluarga.
Ramadan bagi Yudi bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Ini tentang kesabaran, keteguhan hati di tengah sepinya pembeli, dan harapan yang terus menyala, meski redup.
Di balik balon-balon warna-warni itu, terselip senyum seorang ayah yang tak pernah padam. Ada cinta seorang suami yang tetap menyala. Dan ada keyakinan, setelah Ramadan berlalu, rezeki akan kembali mengalir deras.
“Masih ada bulan Syawal, Selo, Besar, dan seterusnya. Bulan-bulan di mana dagangan mainan kembali dicari,” Yudi membatin