Api di Perbatasan Thailand-Kamboja: Warga Sipil Jadi Korban, Puluhan Ribu Mengungsi
BANGKOK/PHNOM PENH – Suara ledakan artileri dan raungan jet tempur memecah keheningan di sepanjang perbatasan Thailand dan Kamboja pekan ini, menandai eskalasi konflik bersenjata paling mematikan antara kedua negara dalam lebih dari satu dekade. Pertempuran yang pecah sejak Kamis (24/7) telah menewaskan sedikitnya 16 orang, mayoritas warga sipil, dan memaksa lebih dari 100.000 orang meninggalkan rumah mereka untuk mencari perlindungan.

Konflik yang telah lama membara ini kembali meletus menjadi perang terbuka, mengubah desa-desa yang damai menjadi medan pertempuran dan memicu krisis kemanusiaan yang mendalam.
Warga Sipil Terjebak di Tengah Pertempuran
Dampak paling tragis dari eskalasi ini dirasakan oleh warga sipil. Pemerintah Thailand melaporkan setidaknya 15 warganya tewas, 14 di antaranya adalah warga sipil, termasuk seorang anak berusia delapan tahun. Puluhan lainnya mengalami luka-luka. Tingginya jumlah korban sipil ini disebabkan oleh serangan roket yang menurut pihak Thailand sengaja diarahkan ke area pemukiman.
Baca juga: Drone Laut Ukraina Hajar Kapal Tanker Minyak Rusia
“Saya tinggal sangat dekat dengan perbatasan. Kami ketakutan karena tembakan kembali terdengar sekitar pukul enam pagi,” kata Pro Bak, seorang warga Kamboja berusia 41 tahun yang mengungsi bersama keluarganya ke sebuah vihara Buddha.
Di Thailand, pemandangan serupa terjadi dalam skala yang jauh lebih besar. Pihak berwenang telah mengevakuasi antara 100.000 hingga 138.000 warga dari empat provinsi perbatasan. Di Kamboja, puluhan ribu orang juga terpaksa meninggalkan rumah mereka, banyak yang melarikan diri dengan traktor pertanian membawa barang seadanya.
Kerusakan infrastruktur sipil juga dilaporkan parah. Thailand menuduh Kamboja menembakkan roket ke sebuah rumah sakit dan stasiun pengisian bahan bakar. Sebaliknya, Kamboja merilis foto-foto yang diklaim sebagai kerusakan pada situs warisan dunia Kuil Preah Vihear akibat serangan udara Thailand.
Kronologi Eskalasi: Dari Ranjau Darat hingga Jet Tempur
Pertempuran terbuka pada 24 Juli dipicu oleh serangkaian insiden yang meningkatkan ketegangan selama beberapa minggu terakhir. Pemicu utamanya adalah ledakan ranjau darat pada 16 dan 23 Juli yang melukai beberapa tentara patroli Thailand. Bangkok menuduh Phnom Penh sengaja menanam ranjau-ranjau tersebut, sebuah tuduhan yang dibantah keras oleh Kamboja.
Sebagai respons, Thailand menarik duta besarnya, mengusir perwakilan Kamboja, dan menutup seluruh pos perbatasan pada 23 Juli.
Keesokan paginya, pertempuran pecah di dekat kompleks candi kuno Ta Muen Thom. Kedua negara saling menyalahkan siapa yang melepaskan tembakan pertama. Konflik dengan cepat meluas ke belasan titik di sepanjang perbatasan.
Baca juga: Tumbangkan Australia, Thailand Lolos ke Final Piala AFF U19 2024
Kamboja dilaporkan mengerahkan peluncur roket ganda BM-21 “Grad” yang menghantam wilayah sipil Thailand. Thailand membalas dengan serangan artileri dan mengerahkan jet tempur F-16 untuk mengebom target militer di dalam wilayah Kamboja, sebuah langkah eskalasi yang signifikan.
Akar Konflik: Peta Kuno, Kuil Suci, dan Politik Domestik
Di balik pertempuran modern ini terdapat sengketa yang telah berusia lebih dari satu abad. Akarnya terletak pada peta perbatasan yang dibuat pada era kolonial Prancis tahun 1907. Kamboja berpegang pada peta ini sebagai dasar kedaulatannya, sementara Thailand menganggapnya tidak akurat.
Pusat dari perselisihan ini adalah Kuil Preah Vihear, sebuah candi Hindu kuno yang megah. Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan kuil tersebut milik Kamboja, namun putusan itu tidak secara jelas mendemarkasi area seluas 4,6 kilometer persegi di sekitarnya, menyisakan bara dalam sekam.
Konflik ini juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik internal kedua negara. Isu perbatasan sering kali dimanfaatkan untuk membangkitkan sentimen nasionalis dan mengalihkan perhatian dari masalah domestik. Situasi di Thailand menjadi sangat rumit setelah Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra diskors dari jabatannya pada 1 Juli lalu. Penangguhan ini terjadi setelah rekaman percakapan teleponnya dengan tokoh senior Kamboja, Hun Sen, bocor ke publik. Dalam rekaman itu, Paetongtarn terdengar mengkritik strategi militernya sendiri, yang memicu kemarahan kaum nasionalis dan melemahkan kontrol sipil atas militer.
Respons Internasional dan Jalan Buntu Diplomasi
Komunitas internasional telah menyerukan agar kedua pihak menahan diri. Malaysia, sebagai ketua ASEAN saat ini, menawarkan untuk menjadi mediator. Namun, Kamboja tampaknya lebih memilih jalur PBB dan telah meminta Dewan Keamanan untuk mengadakan rapat darurat, yang telah dilaksanakan secara tertutup.
Negara-negara besar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat juga telah menyatakan keprihatinan dan mendesak penyelesaian damai.
Namun, jalan menuju perdamaian masih terjal. Thailand bersikeras pada dialog bilateral, sementara Kamboja telah kehilangan kepercayaan pada mekanisme tersebut dan beralih ke forum internasional. Sementara para diplomat berbicara, warga di perbatasan terus hidup dalam ketakutan, berharap suara senjata segera berhenti dan mereka bisa kembali ke rumah. Masa depan hubungan kedua negara tetangga ini kini berada di ujung tanduk, dengan perdamaian yang terasa semakin jauh.